Let's see

Minggu, 25 Desember 2011

Mahalnya Mati Di Indonesia

   Banyak orang memilih jalan kematian dengan alasan agar terbebas dari segala masalah dunia. Tapi siapa bilang kalau kematian tak membuat masalah, terlebih bagi pihak keluarga yang ditinggalkan. Mengapa? karena mati di negara ini mahal. Kenapa saya bilang demikian, opini ini saya dapat saat saya berbincang dengan salah satu kepala pengawas area pemakaman se kota Depok.
  Pak Indra namanya, ia bercerita bahwa tahun depan yakni 2012 Dinas Pemakaman Kota Depok berencana menaikan tarif retriribusi pemakaman. Awalnya warga Depok dikenai biaya sebesar Rp 54 ribu per makam, namun tahun depan rencananya akan dinaikan hingga Rp 80-100 ribu. Sementara warga luar Depok lebih ekstrim lagi, dari harga Rp 375 ribu per makam akan dinaikkan menjadi Rp 1 juta rupiah. Katanya untuk mengantisipasi warga luar Depok yang mau memakamkan kerabatnya di Depok. 
   Soalnya nih konon di Tanggerang harga retribusi makam sudah mencapai kurang lebih Rp 3 juta per makam. Sementara di Jakarta mencapai Rp 6 juta per makam. Padahal nih urusan pemakaman ngga sebatas biaya retribusi saja, ada juga biaya untuk memandikan, mengkafani, hingga menguburkan. Biaya penguburan saja kisarannya antara Rp 200-400 ribu per makam. Hemmmm.... mahal yah?!
  Walaahh belum lagi buat daerah-daerah yang masih menjujung tinggi adat dengan berbagai upacaranya. Salah satunya ya upacara pemakaman. Seperti di Bali dan Toraja, tak sedikit mereka harus menyimpan jenazah berbulan-bulan karena tak mampu menyelenggarakan upacara pemakaman. Tak sedikit pula yang harus berhutang untuk penyelenggaraan tersebut.

Semerawutnya Terminal... Siapa yang Mau Disalahkan???

   Tugas saya kala itu diminta menyambangi terminal Depok. Bagi saya yang sudah puluhan tahun tinggal di Depok, hari itu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di sana. SEMERAWUT. Itulah kata pertama yang terlintas dibenak saya kala melihat kondisi terminal. Puluhan angkutan umum berjejal di sana, belum lagi bis-bis AKAP. Yang lebih menyesakkan lagi ruang tunggu terminal yang sungguh jauh dari kesan nyaman. Wajar saja bila akhirnya banyak penumpang yang lebih memilih menunggu angkutan di muka Terminal. Di tambah lagi kesemerawutan terminal membuat angkutan umum tersendat keluar pintu terminal. Blaaahhh makin malas saja penumpang menunggu di dalam.
   Tapi sesungguhnya semua tindakan baik dari penumpang, pengemudi, maupun pihak terminal bagai rangkaian yang saling berkait. Dan ketika semua tak mau disalahkan disinilah lingkaran setan tercipta. Penumpang tidak mau menunggu di dalam terminan dengan alasan angkutan yang banyak ngetem di luar dan kondisi terminal yang tidak nyaman. Pengemudi kendaraan umum juga merasa kondisi terminal tidak nyaman, penumpang banyak di luar terminal hingga mereka harus berjubal di bibir terminal. Pihak Terminal juga merasa pengemudi dan penumpang sulit mematuhi aturan hingga menyebabkan kesemerawutan. 
   Tapi di balik itu semua saya sedikit berempati dengan para supir angkutan ini. Meski pada prakteknya mereka sering kali berlaku mengesalkan saat membawa kendaraan. Tapi... tapi.. tapi ya bayangkan ternyata uang sewa yang harus mereka serahkan untuk bos-bos mereka cukup besar loh, berkisar antara 75-250 ribu rupiah. Belum lagi mereka harus membayar bensin, dan pungutan-pungutan liar di luar itu semua. Itu semua berat rasanya untuk mereka yang mendapat penumpang kadang tak seberapa. Terlebih era motor semakin berkembang pesat.
   Oiya bicara soal pungutan yang harus mereka bayarkan salah satunya ada retribusi resmi setiap kali masuk terminal Depok, yakni dengan membayar Rp 200 untuk angkutan mikrolet, Rp 500 untuk bis kecil, dan Rp 1000 untuk bis besar. Permasalahannya uang itu ke mana ya? kalau fasilitas terminal tidak kunjung mendapat perbaikan. Kita coba berhitung ya.. taruhlah semua angkutan di pukul rata bayar Rp 200. Disana terdapat kurang lebih 3000 angkutan umum. Setiap angkutan paling tidak masuk 3 kali ke dalam terminal, karena sistem terminal Depok yang mengharuskan setiap angkutan untuk masuk terminal. 
  Itu berarti 3000x 200x 3= 1.800.000 rupiah per hari, yang berarti kurang lebih Rp 54. 000.000 per bulan. Sementara Terminal sendiri mendapatkan APBD setiap bulan untuk biaya operasional sehari-hari. Jika dikatakan tak ada dana mencukupi untuk memperbaiki kondisi terminal, maka kemana larinya uang Rp 54 juta perbulan tersebut yah???

Apa Itu Banjir Buatan? Untuk Apa Mereka Mebuat Banjir?

Gorong-gorong, yang ditanami tumbuhan hijau

    Kemarin sudah bicara soal pasar sekarang kita bicara soal banjir. Setelah turun ke masyarakat ternyata memang banyak sekali masalah-masalah yang mungkin terlihat biasa bagi orang lain. Namun, nyatanya permasalahan tersebut tidak biasa bagi yang mengalaminya.
    Seperti siang itu, saya diminta datang ke Kampung Pulo Cilandak. Awalnya saya tidak menemukan hal yang istimewa selain bahwa daerah itu merupakan daerah rawan banjir. Bicara daerah rawan banjir di Jakarta tentu bukan sesuatu yang istimewa bukan. Apalagi setelah sedikit browsing, berita terkait Kampung Pulo selalu berbicara warga yang ingin membongkar gorong-gorong. Saya sungguh bertanya-tanya, kenapa sudah tahu banjir mereka malah ingin bongkar gorong-gorong?
   Sesampainya di sana saya menjumpai dua ibu yang sedang asik berbincang di bagian muka rumah mereka. Satu ibu ngobrol sambil sibuk membersikan sisa air dengan serok. Saya menengahi perbincangan mereka. Setelah sedikit memperkenalkan diri, saya mulai bertanya mengenai sejak kapan banjir melanda wilayah mereka. Setelah ini saya dikagetkan dengan  banyak hal menarik. Salah satu ibu bertutur pada saya, meski awalnya ia takut-takut untuk bercerita. 
   Jadi, awalnya wilayah Kampung Pulo hanya dilanda banjir lima tahunan. Tapi, sembilan bulan terakhir daerah tersebut hampir...hampirrrr setiap hari terkena banjir. Lucunya banjir tersebut terjadi setelah pihak Marinir Cilandak yang berseberangan dengan Kampung Pulo, membangun sebuah gorong-gorong. 
   Sebentar... sebentar seharusnya gorong-gorong bukannya berfungsi untuk memperlancar aliran air bukan. Lalu kenapa justru banjir terjadi setelah gorong-gorong tersebut dibangun? dan mengapa pihak Marinir membangun gorong-gorong?
  Jawabannya saya dapat dari cerita para warga, kurang lebih sembilan bulan lalu. Saat itu tanah pemukiman warga didatangi pihak Marinir. Maksud kedatangan tersebut katanya untuk mengajukan tawaran pembebasan lahan pemukiman mereka untuk perluasan lapangan tembak. Sayangnya saat itu warga tidak menyetujui. Hal tersebut dikarenakan harga yang ditawarkan pihak Marinir begitu murah. Rinciannya sebagai berikut, menurut ketua RT setempat bangunan gubuk dihargai Rp 650 per meter, semi permanen Rp 750, dan permanen Rp 950. Itu pun hanya bangunan saja tanah tidak dihitung. Mereka kontan merasa dirugikan dengan tawaran tersebut dan menolaknya. 
salah satu rumah warga
  Bencana pun mulai menyambangi mereka, sejak saat itu entah bagaimana caranya. Daerah mereka selalu didera banjir. Bahkan disaat kondisi cuaca kemarau tak jarang rumah mereka tetap terendam hingga lutut orang dewasa. Lucunya lagi, banjir akan surut saat ada pejabat atau orang penting yang akan berkunjung ke sana. Maka para warga pun menamainya banjir siluman.
   Oiya, setelah banjir terus menerjang pernah pihak Marinir datang kembali memberi tawaran. Kali ini harga yang ditawarkan jauh mengalami penurunan. Semua rumah dihargai pukul rata Rp 500 per meter dan tidak dihitung tanah. Hal ini tentu membuat warga semakin jengkel. Entah apa yang dimau pihak Marinir. Hingga saat ini tidak ada pembicaraan yang terjadi antara kedua pihak mengenai permasalahan ini. Pihak Marinir kerap kali menolak untuk melakukan perundingan.
  Padahal jika ditilik lagi, rencana pembebasan tanah untuk perluasan area tembak juga dirasa tidak logis oleh warga. Sebab letak lapangan tembak di kawasan komplek Marinir itu di batasi perumahan Marinir, sungai, baru rumah warga yang ingin mereka bebaskan tersebut. Jadi entah rencana pembebasan lahan tersebut pada hakikatnya untuk apa. 
   Saya sempat mengunjungi gorong-gorong yang dimaksud tersebut. Memang sungguh aneh, sebab gorong-gorong tersebut lebih terlihat sebagai tanggul. Bentuknya yang mengarah ke atas, otomatis membuat air justru meluap di sungai dan jatuh ke rumah warga. Terlebih gorong-gorong tersebut memangkas lebar sungai dari 12 meter menjadi tinggal tersisa 4 meter. Pantas jika akhirnya aliran air sungai menjadi terhambat dan mengalami penyempitan, hingga akhirnya meluap ke pemukiman warga.
     Saat ditemui warga hanya berharap sungai dinormalisasi lagi dan gorong-gorong dibongkar. Hal tersebut supaya aliran sungai bisa kembali normal hingga tak perlu meluap sampai pemukiman warga. Tidak terbayang jadi mereka, sembilan bulan selalu didera banjir. Semoga segera selesai semua permasalahan yang menimpa mereka. Dan semoga tidak ada lagi orang-orang atau kelompok yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Sebab dibalik itu pasti ada orang-orang yang tidak tahu menahu namun dirugikan.

Kamis, 22 Desember 2011

Hiruk Pikuk Pasar

   Siang itu saya dapat tugas ke Pasar Pondok Labu Jakarta Selatan. Luar biasa kemacetan jadi menu pembuka saya. Sesampainya di sana, ada yang aneh menurut saya. Melihat susunan lokasi pasar tiga lantai tersebut. Biasanya pasar yang menjual barang kebutuhan pokok dan keperluan sehari-hari terletak di bawah. Tapi ini tidak, pasar kebutuhan pokok yang menjual berbagai sayuran, daging, bumbu masak dan lain-lain berada di lantai paling atas pasar ini. Sementara kios-kios pakaian ada di lantai 1 dan 2, kontan saja hal ini menyebabkan para penjual yang berada dilantai 3 sepi pengunjung.
   Terlebih lagi di luar, terdapat tiga pasar lain yang berjajaran. Pasar Tengah, Pasar Becek, dan Pasar baru yang saya lupa namanya. Sungguh malang nasib para penjual di lantai tiga Pasar Pondok Lab. Siapa pembeli yang mau bersusah payah naik tiga lantai untuk berbelanja sementara di bawah berjajar pasar lain yang tak kalah lengkap.
  Padahal para pedagang tersebut membayar iuran yang tidak sedikit loh. Rp 80 ribu rupiah perbulannya. Keuntungan hanya mereka andalkan dari para langganan lama. Ternyata persaingan seperti ini masih harus di hadapi para pedagang di pasar tradisional. Belum lagi mereka juga harus bersaing dengan ribuan pasar swalayan yang kian tumbuh. Beruntung Wahyuningsih, salah seorang pedagang yang saya temui disana masih dapat bertahan berjualan sejak tahun 1993. Ia bahkan mampu menyekolahkan putrinya hingga perguruan tinggi.